Pemilu dan Pilkada 2024 kian mendekat. Ini merupakan tahun pergantian kekuasaan besar-besaran. Wajarlah semua pikiran dan energi elite terpusat untuk suksesi 2024. Akibatnya, selepas Pemilu 2019, isu berkecamuk. Penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden menjadi isu paling seksi. Ada pula isu cebong dan kampret yang membelah, kontroversi politik identitas, catatan meninggalnya ratusan penyelenggara, termasuk unifikasi regulasi kepemiluan, gonjang-ganjing independensi dan integritas penyelenggara pemilu. Begitu masuk 2022, menyeruaklah isu curi start kampanye, penyelenggara tidak adil dalam tahap verifikasi parpol.
Yang belakangan lahirkan pro/kontra adalah isu sistem pemilu. Sistem proporsional terbuka digugat ke Mahkamah Konstitusi. Pemohon mengajukan judicial review, salah satunya tentang Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017.
Menengok sejarah, sebanyak delapan kali pemilu di indonesia sejak 1955 hingga 1999 menggunakan sistem proporsional tertutup. Dan perlu dicatat, Pemilu 1955 dan Pemilu 1999 adalah dua contoh pemilu terbaik yang lahir dari sistem proporsional tertutup itu. Selanjutnya Pemilu 2004 melalui UU 12/2003 hingga UU 7/2017 ini, dengan sistem proporsional terbukanya, justru asas jujur dan adil masih menjadi pekerjaan rumah bersama.
Putusan MK Nomor 22-24/PUUVI/2008 menyatakan bahwa penentuan calon dengan nomor urut inkonstitusional. Sistem proporsional tertutup batal karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat.
Sebetulnya fakta pemilu proporsional tertutup memiliki kelebihan. Sistem ini menguatkan partai politik dari pada figurnya. Kandidat tidak perlu capek-capek bersaing sesama kandidat serta menyiapkan dana kampanye sendiri, apalagi untuk politik uang. Bagi pemilih cukup coblos partainya. Selanjutnya, partai politik mendistribusikannya ke kandidat. Namun mekanisme ini justru dinilai mendegradasi kedaulatan rakyat. Sementara sistem proporsional terbuka memiliki kekurangan. Figur lebih menonjol tapi juga lebih dekat dengan pemilih. Gagasan partai politik menjadi tidak prioritas. Politik uang tentu terbuka lebar.
Adam Schmidt dalam “Indonesia’s 2009 Election; Performance and Negative Precedent”, menjelaskan ada 10 kriteria menilai keberlangsungan pemilu dalam. Pada Pemilu 2009, hanya ada empat kriteria yang terpenuhi. Yaitu: kebebasan berekspresi partai politik, peliputan media yang berimbang mengenai peserta pemilu, pelaksanaan pemungutan suara dengan damai, dan proses penyelesaian konflik berjalan dengan baik. Berkaca pada pemilu selama ini, enam poin lainnya yaitu pemilih yang terdidik, masyarakat sipil terlibat dalam semua aspek proses pemilu, proses penghitungan suara yang transparan, hasil pemilu yang dapat diaudit, DPT yang akurat. Terakhir, KPU yang permanen dengan staf ad hoc yang memiliki kompetensi. Semua itu sebenarnya sudah terpenuhi semua. Tapi, penguatan kualitas perlu dilakukan lagi.
Mungkinkah sebabnya karena sistem pemilunya yang rumit? Menurut evaluasi Centre for Electoral Reform (Cetro) waktu itu. Ada lima penyebab utamanya berkaitan dengan surat suara memuat terlalu banyak caleg. Penghitungan suara yang lambat dan sulit, masalah dalam penentuan perolehan kursi dan dalam penetapan calon terpilih, termasuk sengketa hasil pemilu di MK mencapai 700 kasus. Jawaban tersebut tentu tidak relevan lagi untuk sekarang.
Menilai Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, relatif berjalan lancar sesuai peraturan perundangan, tidak serumit dulu, meski dalam situasi tidak normal. Namun yang menjadi catatan penting, seperti politik uang, kurang berfungsinya partai politik, partisipasi belum maksimal, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara, ASN/TNI/Polri dan independensi penyelenggara. Salah satunya disebabkan oleh regulasi yang lemah, maka perlu penguatan dengan melakukan unifikasi undang-undang politik dan kepemiluan. Di antaranya undang-undang dan pilkada, undang-undang partai politik, undang-undang pemda, undang-undang keuangan pusat dan daerah, undang-undang MD3, dan undang-undang desa.
International for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) mengelompokkan sistem pemilu menjadi empat yaitu sistem mayoritas/pluralitas (plurality/majority), sistem proporsional (proportional representation), sistem campuran (Mixed) dan sistem lain-lain (Others).
Banyak ahli bersuara, ada dua pilihan jawaban menurut saya. Pertama, untuk sekarang, sebaiknya maksimalkan dahulu penerapan proporsional terbuka dengan syarat perbaikan regulasi dan penataan parpol, dan lainnya. Kedua, untuk masa datang, perlu disiapkan matang sistem yang paling cocok dengan demokrasi indonesia.
Penulis: Carlitos Marpaung
Sumber foto:https://zonautara.com/wp-content/uploads/2022/02/pEMILU-2024.jpg
0 komentar:
Posting Komentar